Dengan memperhatikan beberapa dalil denganpembahasannya yang telah dipaparkan
di atas, bisa disimpulkan adanya beberapakondisi dimana isbal tidak diharamkan.
Pertama: Kondisi
darurat yang memaksa seorang lelaki untuk melakukan isbal. Di antaranya
adalah contoh keadaan yang disebutkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab
Fathul Bari (10/257). Beliau berkata: “Dikecualikan dari [larangan] isbal pada
pakaian secara mutlak adalah pakaian yang dikenakan dengan isbal karena
terpaksa oleh keadaan. Contohnya seperti seorang pria yang pada mata kakinya
terdapat luka, dimana dia terganggu dengan adanya lalat [yang mengerumuni luka
tersebut] apabila dia tidak menutupinya dengan kain sarung [yang dia julurkan
hingga menutupi mata kaki yang ada lukanya]. Sementara dia tidak mendapatkan
sesuatu untuk menutupi luka tersebut selain sarungnya [yang dia kenakan secara isbal
karena terpaksa]. Dan adanya pengecualian ini telah diberitahukan oleh Syaikh
kami (Al-Hafizh Al-‘Iroqi) dalam kitab Syarah Sunan Tirmidzi. Beliau berdalil
tentang hal tersebut dengan adanya izin dari Nabi kepada ‘Abdurrohman bin ‘Auf
untuk memakai gamis yang terbuat dari sutra karena penyakit gatal yang
dideritanya. Adapun faktor kesamaan antara dua kondisi tersebut1
adalah adanya keterpaksaan (darurat) yang menyebabkan diperbolehkannya
melanggar sesuatu yang asalnya sudah ada larangan dari Nabi. Hal ini seperti
diperbolehkannya menyingkap aurat untuk proses pengobatan [jika kondisinya
memang mendesak untuk dilakukannya hal tersebut].”
Kedua: Kondisi
para wanita [muslimah yang memang senantiasa butuh untuk menjulurkan kainnya
hingga isbal dalam rangka untuk menutupi aurat mereka. Bahkan Al-Qodhi
‘Iyadh –sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Bari (10/259)- telah
menukilkan kesepakatan para ulama tentang terbatasnya larangan isbal hanya
bagi kaum laki-laki, dan tidak berlaku bagi kaum wanita. Namun keringanan ini
hanya terbatas sampai sepanjang satu hasta jika diukur dari tengah betis mereka.
Adapun selebihnya adalah isbal yang tidak diperbolehkan oleh Nabi bagi kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash hadits Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4117) dan dishohihkan oleh Asy-SyaikhAl-Albani dalam kitab Shohih Abi Dawud.]
Adapun selebihnya adalah isbal yang tidak diperbolehkan oleh Nabi bagi kaum wanita, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash hadits Ibnu ‘Umar yang dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4117) dan dishohihkan oleh Asy-SyaikhAl-Albani dalam kitab Shohih Abi Dawud.]
Ketiga: Apabila
pakaian seorang lelaki turun dengan sendirinya dan dia tidak bermaksud untuk
sengaja melakukan isbal, kemudian juga disertai dengan adanya usaha
untuk menjaga pakaiannya supaya tidak sampai isbal. Hal ini sebagaimana
yang disebutkan dalam kisahnya Abu Bakar. [Dan masuk juga pada kategori ini
bila pakaian seorang lelaki itu menjadi isbal tanpa sengaja karena lupa,
terkejut, tergesa-gesa dan kondisi lainnya yang sejenis, sementara dia
sudahberusaha untuk menjaganya supaya tidak isbal.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar