Ada beberapa hadits yang menerangkan tentang batasan
panjangnya pakaian secara syar’i. Dan di sini akan disebutkan empat hadits yang
telah tsabit dari Rosululloh.
1.
Hadits Hudzaifah yang dikeluarkan oleh Imam An-Nasai (8/206-207),Imam Ahmad
dalam Musnad-nya (5/39), dan Imam Ibnu Hibban sebagaimana dalam kitab Al-Ihsan
(no. 5425) [dengan sanad yang hasan], bahwasanya Rosululloh bersabda:
مَوْضِعُالإزَارِ إِلَى
أَنْصَافِ السَّاقَيْن ِ وَ الْعَضَلَةِ , فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ , فَإِنْ
أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاق ِ , وَ لاَ حَقَّ لِلْكَعْبَيْن ِ فِى الإزَارِ
“Tempatnya
sarung itu sampai ke pertengahan betis dan ototnya. Lalu kalau engkau enggan
[untuk mengangkatnya sampai tengah betis], maka boleh lebih rendah sedikit. Kemudian
bila engkau masih enggan juga, maka boleh di bawah betis. Dan tidak ada hak
sama sekali bagi kedua mata kaki sebagai tempat sarung.2
Hadits
Anas yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (3/249) dan Imam Al-Baihaqi dalam kitab
Syu’abul
Iman, bahwasanya Rosululloh bersabda:
" اَلإِزَارُ إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ " فَلَمَّا رَأَى
شِدَّةَ ذَ لِكَ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ قَالَ : " إِلَى الْكَعْبَيْن ِ لاَ
خَيْرَ فِيْمَا أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ "
“Kain sarung itu terjulur sampai pertengahan betis.”
Kemudian tatkala beliau melihat beratnya hal tersebut bagi kaum muslimin,
beliaupun bersabda: “Sampai [tepat di atas3] kedua mata kaki. Dan
sama sekali tidak ada kebaikan pada bagian yang terjulur di bawah itu [yaitu
mulai mata kaki ke bawah].”
Hadits
Anas ini disebutkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits
Ash-Shohihah (no.1765)
3.
Hadits Abu Sa’id Al-Khudri, bahwasanya Rosululloh bersabda :
إِزْرَةُ الْمُؤْمِن ِ إِلَى نِصْفِ السَّاق ِ , وَ
لاَ حَرَجَ أَوْلاَ جُنَاحَ فِيْمَا بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْكَعْبَيْن ِ , وَ مَا
كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَ لِكَ فَهُوَ فِى النَّارِ
“Kain
sarungnya seorang mukmin [laki-laki itu turun] sampai pertengahan betisnya. Dan
tidaklah berdosa atau tidak mengapa [kalau dia menurunkannya sampai pada bagian
kaki] antara tengah betis dengan kedua mata kaki. Adapun bagian yang lebih
rendah dari itu [yaitu turun sampai menyentuh mata kaki atau bahkan
melampauinya], maka tempatnya di neraka.”
Hadits
ini dikeluarkan oleh Imam Abu Dawud (no. 4093), Imam Ibnu Majah (no. 3573),
Imam
An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubro (no. 9715), Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(3/5), Imam Malik dalam Al-Muwaththo’ (no. 713) dan Imam Ath-Thobaroni dalam Mu’jamul
Ausath (no. 5200), semuanya lewat jalur periwayatan Al-‘Ala’ bin ‘Abdirrohman
dari bapaknya dari Abu Sa’id Al-Khudri sebagaimana di atas. Dan sanad hadits
ini adalah hasan dikarenakan adanya Al-‘Ala’.
Sementara penulis kitab ‘Aunul Ma’bud (6/103) menjelaskan:
“Hadits Abu Sa’id Al-Khudri tersebut mengandung dalil yang menunjukkan bahwa
yang dianjurkan (mustahab) pada kain sarung seorang muslim adalah
[dinaikkan] hingga pertengahan betis. Dan diperbolehkan (tanpa ada unsur makruh)
pada kain sarung yang [diturunkan hingga] di bawah pertengahan betis sampai
kedua mata kaki.4
Adapun bagian kain sarung yang berada di bawah kedua mata kaki adalah haram
serta terlarang.”
Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari (10/259): “Ringkasnya
bisa disimpulkan bahwa kaum lelaki itu memiliki dua keadaan. Pertama: kondisi
yang dianjurkan, yaitu mencukupkan kain sarungnya
hanya sampai sebatas pertengahan betis. Kemudian yang kedua: kondisi yang masih
diperbolehkan, yaitu menjulurkannya sampai ke mata kaki.”5
Namun sangat disayangkan kenyataan yang terjadi di kalangan orang-orang muslim,
dimana Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah (no.
1765) menuturkan: “Dan ini termasuk di antara sunnah-sunnah yang telah
ditinggalkan dan tidak diperdulikan lagi oleh orang-orang khusus6 di kalangan kau muslimin, apalagi orang awamnya.”
Fakta
ini jelas sangat bertolak belakang dengan sikap yang diambil oleh para sahabat
dalam masalah ini. Sebagaimana yang bisa dipahami dari haditsnya ‘Amr bin
Asy-Syarid, dia berkata:
أَبْعَدَ رَسُولُ اللهِ رَجُلا ً يَجُرُّ إِزَارَهُ ,
فَأَسْرَعَ إِلَيْهِ أَوْ هَرْوَلَ فَقَالَ : " ارْفَعْ إِزَارَكَ وَ اتَّق
ِاللهَ " , قَالَ :" إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ " ,
فَقَالَ :" ارْفَعْ إِزَارَكَ فَإِنَّ كُلَّ خَلْق ِ اللهِ حَسَنٌ " ,
فَمَا رُؤِيَ ذَ لِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلاَّ إِزَارُهُ يُصِيبُ أَنْصَافَ
سَاقَيْهِ أَوْ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Dari kejauhan Rosululloh melihat seorang laki-laki yang
menjulurkan kain sarungnya hingga terseret. Maka beliaupun bergegas untuk
menjumpainya, atau beliau berlari-lari kecil menuju orang tersebut. Lalu beliau
menegurnya:“Angkatlah kain sarungmu dan bertaqwalah kepada Alloh.” Maka orang
itupun berkata [menyampaikan udzurnya]: “Sesungguhnya saya seorang yang
memiliki kaki bengkok [seperti huruf X] dan kedua lutut saya berbenturan ketika
berjalan.”
Ternyata Rosululloh tetap mengatakan: “Angkatlah kain sarungmu, karena
sesungguhnya semua ciptaan Alloh adalah bagus.” Maka setelah kejadian itu
tidaklah nampak laki-laki tersebut melainkan kain sarungnya senantiasa
terangkat hingga pada tengah-tengah kedua betisnya atau di bawahnya sedikit.”
Hadits ini [dikeluarkan oleh Imam Ahmad (4/390) dan]
dinyatakan shohih oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Ash-Shohihah (no.
1441).
Demikianlah
sikapnya seorang sahabat. Dimana ketika Nabi memberikan peringatan kepadanya
tentang perbuatan isbal yang dia lakukan pada pakaiannya, maka dia cepat
menerimanya dan segera mengangkat pakaiannya sampai pertengahan kedua betisnya,
[serta tidak pernah lagi menjulurkannnya melebihi batasan tersebut]. Jadi, dia
tidak menolak peringatan itu dengan dalih: ‘Saya kan tidak melakukannya
karena sombong’, ataupun dengan berbagai macam alasan lainnya [yang tidak
syar’i. Bahkan dia segera menerimanya dan terus menerus melaksanakannya,
sebagai wujud pelaksanaan]
Firman Alloh:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِن ٍ
وَ لاَ مُؤْمِنَةٍ إِ ذَا قَضَى اللهُ وَ رَسُولُهُ أَمْرًاأَنْ يَكُونَ لَهُمُ
الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ , وَ مَنْ يَعْص ِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ
ضَلاَلا ً مُبِيْنًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mu’min, apabila Alloh dan Rosul-Nya telah menetapkan suatu
ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan
barangsiapa mendurhakai Alloh dan Rosul-Nya maka sungguhlah dia
telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” [QS
Al-Ahzab: 36]
Kemudian
juga ada sebuah hadits [shohih yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad (2/141)] dari
Ibnu ‘Umar, dia berkata:
دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ وَ عَلَيَّ إِزَارٌ
يَتَقَعْقَعُ , فَقَالَ : " مَنْ هَذ َا ؟ " قُلْتُ : "
عَبْدُاللهِ بْنُ عُمَرَ " , قَالَ : " إِنْ كُنْتَ عَبْدَ اللهِ
فَارْفَعْ إِزَارَكَ " فَرَفَعْتُ إِزَارِي إِلَى نِصْفِ السَّاقَيْن ِ ,
فَلَمْ تَزَلْ إِزْرَتَهُ حَتَّى مَاتَ
Saya
pernah masuk untuk menemui Nabi, dan ketika itu saya mengenakan sarung yang
berbunyi [karena terseret di tanah]. Maka beliaupun bertanya: “Siapakah ini?”
Saya jawab: “’Abdulloh bin ‘Umar.” Lalu beliau bersabda lagi: “Jika engkau
memang benar-benar ‘Abdulloh (hamba Alloh), maka angkatlah kain sarungmu.” Lalu
sayapun mengangkat kain sarung saya hingga ke pertengahan betis. Kemudian
senantiasa seperti itulah keadaan sarungnya Ibnu ‘Umar hingga beliau wafat.
Hadits
ini dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shohihah (no. 1568). Dan ketika menyampaikan ulasan tentang hadits ini,
beliau berkomentar: “Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas serta
gamblang, bahwasanya wajib bagi seorang muslim untuk tidak memanjangkan kain
sarungnya sampai di bawah mata kaki, meskipun hal itu dilakukan tanpa disertai
dengan maksud sombong. Bahkan dia [harus senantiasa] mengangkat pakaiannya itu
hingga di atas mata kaki. Selain itu, hadits tersebut juga mengandung bantahan
yang nyata terhadap sebagian Masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah
mereka hingga hampir menyentuh tanah, sementara mereka tetap berdalih dengan
anggapan bahwa hal itu tidaklah dilakukannya karena sombong. Kenapa mereka
tidak sekalian meninggalkan perbuatan tersebut, demi mengikuti perintah
Rosululloh [sebagaimana yang beliau perintahkan] kepada Ibnu ‘Umar untuk
mengangkat pakaiannya? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya dibandingkan
Ibnu ‘Umar?
Bersambung
Insya Allah.
1.Yaitu
kondisi dari lelaki yang diperbolehkan untuk melakukan isbal atau
memakai baju sutra, padahal hukum asal keduanya adalah haram bagi laki-laki.
2
Hadits Hudzaifah ini dicantumkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ahadits Ash-Shohihah (no. 2366) dengan
sedikit perbedaan redaksi.
3 Lafazh (الى) di sini berfungsi sebagai (الغاية :puncak)
dan (الانتهاء :batas
akhir) yang menunjukkan bahwa haknya pakaian itu hanya sampai pada bagian
yang tepat di atas kedua mata kaki (tidak termasuk yang menutupi mata kaki).
Makna inilah yang harus diambil, sebagaimana yang ditunjukkan oleh nash
hadits Hudzaifah sebelumnya.
4 Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa
menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki itu sudah termasuk isbal
yang diharamkan bagi laki-laki. Dan itulah pendapat yang rojih berdasarkan
hadits Hudzaifah terdahulu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As-Sindi dan
Asy-Syaikh Al-Albani. Wallohu A’lam.
5 Lihat catatan kaki sebelumnya.
6
Seperti para penuntut ilmu syar’i, atau bahkan sebagian kalangan yang notabene
memiliki ilmu dan menjadi tokoh panutan di tengah-tengah masyarakat muslim.